Sabtu, 05 Januari 2013

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN


PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma sebagai alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut. Suatu paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah dalam ilmu pengetahuan.
Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.
1. Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga
b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
a. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.
b. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.
Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.
c. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu,
pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human.
Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam si seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.
d. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan Keamanan
Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi
Pada saat ini Indonesia tengah berada pada era reformasi yang telah diperjuangkan sejak tahun 1998. ketika gerakan reformasi melanda Indonesia maka seluruh tatanan kehidupan dan praktik politik pada era Orde Baru banyak
mengalami keruntuhan. Pada era reformasi ini, bangsa Indonesia ingin menata kembali (reform) tatanan kehidupan yang berdaulat, aman, adil, dan sejahtera. Tatanan kehidupan yang berjalan pada era orde baru dianggap tidak mampu memberi kedaulatan dan keadilan pada rakyat.
Reformasi memiliki makna, yaitu suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Apabila gerakan reformasi ingin menata kembali tatanan kehidupan yang lebih baik, tiada jalan lain adalah mendasarkan kembali pada nilai-nilai dasar kehidupan yang dimiliki bangsa Indonesia. Nilai-nilai dasar kehidupan yang baik itu sudah terkristalisasi dalam pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Oleh karena itu, pancasila sangat tepat sebagai paradigma, acuan, kerangka, dan tolok ukur gerakan reformasi di Indonesia.
Dengan pancasila sebagai paradigma reformasi, gerakan reformasi harus diletakkan dalam kerangka perspektif sebagai landasan sekaligus sebagai cita-cita. Sebab tanpa suatu dasar dan tujuan yang jelas, reformasi akan mengarah pada suatu gerakan anarki, kerusuhan, disintegrasi, dan akhirnya mengarah pada kehancuran bangsa. Reformasi dengan paradigma pancasila adalah sebagai berikut :
a. Reformasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, gerakan reformasi berdasarkan pada moralitas ketuhanan dan harus mengarah pada kehidupan yang baik sebgai manusia makhluk tuhan.
b. Reformasi yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya, gerakan reformasi berlandaskan pada moral kemanusiaan yang luhur dan sebagai upaya penataan kehidupan yang penuh penghargaan atas harkat dan martabat manusia.
c. Reformasi yang berdasarkan nilai persatuan. Artinya, gerakan reformasi harus menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan. Gerakan reformasi yang menghindarkan diri dari praktik dan perilaku yang dapat menciptakan perpecahan dan disintegrasi bangsa.
d. Reformasi yang berakar pada asas kerakyatan. Artinya, seluruh penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara harus dapat menempatkan rakyat sebagai subjek dan pemegang kedaulatan. Gerakan reformasi bertujuan menuju terciptanya pemerintahan yang demokratis, yaitu rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
e. Reformasi yang bertujuan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, gerakan reformasi harus memiliki visi yang jelas, yaitu demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Perlu disadari bahwa
ketidakadilanlah penyeban kehancuran suatu bangsa.

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL

Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial, Budaya, Pertahanan dan Keamanan Dikaitkan dengan Nilai-nilai Pancasila
Dalam pembangunan nasional pasti dibutuhkan suatu kerangka pemikiran yang melandasi pembangunan nasional itu sendiri. Oleh karena itu, pancasila dapat dijadikan sebagai landasan pembangunan nasional. Namun demikian, dari kata-kata Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional bidang sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan akan tercipta beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut:
- Apa itu Paradigma?
- Apa saja Nilai-nilai Pancasila yang dapat diterapkan sebagai Paradigma Pembangunan Nasional bidang sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan?
- Mengapa Pancasila dapat dijadikan Paradigma Pembangunan Nasional?
Orang yang pertama kali menyatakan istilah paradigma adalah Thomas Kuhn, sedangkan arti dari pardigma adalah kerangka pemikiran. Pembangunan Nasional tidak memiliki arti yang sempit hanya membangun fisiknya saja. Pembangunan Nasional memiliki arti yang luas yaitu membangun masyarakat Indonesia seutuhnya. Pancasila dapat dijadikan paradigma pembangunan Nasional karena nilai-nilai pancasila dapat diterapkan dan sesuai dengan perkembangan jaman. Dalam pembangunan Nasional harus mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Pada undang-undang alinea ke-IV telah tercantum tujuan dari Negara Indonesia, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencapai masyarakat adil dan makmur. Dan dalam upaya membangun Indonesia seutuhnya itulah diperlukan penerapan dari nilai-nilai pancasila. Pancasila sebagai paradigma dalam pembangunan nasional bidang sosial dan budaya, pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pancasila, sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Dalam upaya membangun masyarakat seutuhnya, maka hendaknya juga berdasarkan pada sistem nilai dan budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Berdasar pada sila ketiga dari pancasila, yaitu persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya yang beragam di seluruh nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Diperlukan adanya pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Sedangkan pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang pertahanan dan keamanan, memiliki arti bahwa untuk mencapai terciptanya masyarakat hukum diperlukan penerapan dari nilai-nilai pancasila. Hal itu disebabkan karena Negara juga memiliki tujuan untuk melindungi segenap bangsa dan wilayah negaranya. Nilai-nilai pancasila dalam penerapan pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang pertahanan dan keamanan adalah :
a. Sila pertama dan kedua: pertahanan dan keamanan Negara harus mendasarkan pada tujuan demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
b. Sila Ketiga: pertahanan dan keamanan Negara haruslah mendasarkan pada tujuan demi kepentingan warga dalam seluruh warga sebagai warga Negara.
c. Sila keempat: pertahanan dan keamanan harus mampu menjamin hak dasar persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan.
d. Sila kelima: pertahanan dan keamanan harus diperuntukan demi terwujudnya keadilan hidup masyarakat.
Membaca buku acuan dan referensi lain, dapat dimengerti tentang Pancasila sebagai Pardigma Pembangunan Nasional bidang sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Sehingga dapat diambil suatu kesimpulan bahwa nilai-nilai dari pancasila dapat dijadikan suatu paradigma atau kerangka pemikiran dalam pembangunan nasional.

PENGEMBANGAN KURIKULUM KARAKTER BANGSA DAN BUDAYA


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

                Pendidikan sesungguhnya adalah transformasi budaya, sehingga persoalan budaya dan karakter bangsa yang kurang baik akan menjadi sorotan tajam masyarakat terhadap pelaksanaan pendidikan di setiap satuan pendidikan.       Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif  karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa, mengapa tidak karena pendidikan sesungguhnya adalah transformasi budaya. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat dalam waktu yang relatif lama sehingga membangun pendidikan sesungguhnya investasi jangka panjang.

B. Tujuan
Tujuan menyusun makalah ini supaya dapat mengetahui, pengertian, konsep, prinsip dan pengembangan kurikulum berbasis karakter bangsa dan budaya.

C. Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian kurikilum budaya dan karakter bangsa ?
b.      Jelaskan konsep – konsep pengembangan kurikulum !
c.       Jelaskan pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter bangsa !
d.      Jelaskan Pendekatan Budaya Dalam Pengembangan Pendidikan !
e.       Sebutkan tahap – tahap dalam pengembangan kurikulum berbasis budaya !


BAB II
PEMBAHASAN
Pengembangan Kurikulum Berbasis Karakter Bangsa dan Budaya
Istilah karakter merujuk pada ciri khas, perilaku khas seseorang atau kelompok, kekuatan moral, atau reputasi. Dengan demikian, karakter adalah evaluasi terhadap kualitas moral individu atau berbagai atribut termasuk keberadaan kurangnya kebajikan seperti integritas, keberanian, ketabahan, kejujuran dan kesetiaan, atau perilaku atau kebiasaan yang baik. Ketika seseorang memiliki karakter moral, hal inilah yang membedakan kualitas individu yang satu dibandingkan dari yang lain (Wood, 2009).
Karakter juga dipahami sebagai seperangkat ciri perilaku yang melekat pada diri seseorang yang menggambarkan tentang keberadaan dirinya kepada orang lain. Penggambaran itu tercermin dalam prilaku ketika melaksanakan berbagai aktivitas apakah secara efektif melaksanakan dengan jujur atau sebaliknya, apakah dapat mematuhi hukum yang berlaku atau tidak (Kurtus, 2009). Walaupun prilaku sering dihubungkan dengan kebribadian, tetapi kedua kata ini mengandung makna yang berbeda. Kepribadian pada dasarnya merupakan sifat bawaan, sedangkan karakter terdiri atas prilaku-prilaku yang diperoleh dari hasil belajar. Merujuk pada pendapat Wood dan kurtus bahwa konsep pendidikan karakter adalah proses pendidikan yang bertujuan menciptakan peserta didik yang berkarakter, artinya menciptakan generasi yang cerdas., berbudi pekerti luhur, agamis dan selalu menjunjung tinggi nilai – nilai budaya bangsa dalam kehidupan sehari –hari.
Konsep tersebut menjadi tantangan bagi para pendidik untuk dapat diimplementasikan dalam setiap materi pelajaran sehingga menjadi konsep dan tanggung jawab bersama yang bersifat integral sesuai dengan amanat dari Undang – undang No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional.
A. Pengertian Kurikulum Budaya dan Karakter Bangsa
Sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional maka pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (Pasal 3 UU Sisdiknas). Sedangkan budaya adalah nilai, moral, norma dan keyakinan (belief), fikiran yang dianut oleh suatu masyarakat/bangsa dan mendasari perilaku seseorang sebagai dirinya, anggota masyarakat, dan warganegara. Budaya mengatur perilaku seseorang mengenai sesuatu yang dianggap benar, baik, dan indah. Selanjutnya, karakter adalah watak yang  terbentuk dari nilai, moral, dan norma yang mendasari cara pandang, berfikir, sikap, dan cara bertindak seseorang serta yang membedakan dirinya dari orang lainnya. Karakter bangsa terwujud dari karakter seseorang yang menjadi anggota masyarakat bangsa tersebut.
Kurikulum budaya dan karakter bangsa adalah kurikulum yang  mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri peserta didik sehingga menjadi dasar bagi mereka dalam berpikir, bersikap, bertindak dalam mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan warganegara. Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dimiliki peserta didik tersebut menjadikan mereka sebagai warganegara Indonesia yang memiliki kekhasan dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
Apa yang dimaksud kurikulum berbasis budaya? Kurikulum berbasis budaya merupakan sebuah kurikulum yang berorientasi pada penyiapan lulusan berbudaya. Berbudaya berarti setiap individu mampu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai – nilai kemanusiaan yang berkembang dimasyarakat. Nilai – nilai kemanusiaan yang berlaku dan diakaui masyarakat dijadikan acuan untuk menentukan materi, proses dan system evaluasinya.
v  Ciri – ciri kurikulum berbasis budaya
-         Pertama, berorientasi pada pembentukan manusia berwatak, beradab dan bermartabat
-         Kedua, materi pembelajarannya dikembangkan dari berbagai sumber
-         Ketiga, menekankan pada pembudayaan segenap potensi peserta didik
-         Keempat, sistem penilaiannya menekankan dimensi proses dan hasil.
Kurikulum berbasis budaya dapat juga dipahami sebagai suatu bentuk inovasi kurikulum yang ingin mengedepankan pengembangan segenap potensi peserta didik atas dasar watak, peradaban, dan martabat. Kurikulum perlu dikaitkan dengan tatanan nilai – nilai kemanusiaan yang berlaku dimasyarakat. Banyaknya materi pelajaran bukan lagi merupakn prioritas utama pengembangannya, namun, yang lebih penting adalah “Bagaimana mengembangkan dimensi- dimensi kurikulum yang mampu membuka pengekangan – pengekangan yang menghalangi perkembangan potensi peserta didik“ (Tilaar, 1999).
Berdasarkan uraian diatas,sesungguhnya kurikulum berbasis budaya dipandang relevan diterapkan dalam sisdiknas kita. Ditinjau dari sisi filosofi, kurikulum berbasis budaya sesuai dengan hakekat proses pendidikan yang pemanusiaan peserta didik. Proses pendidikan merupakan proses pembudayaan peserta didik. Dari sisi sosiologi,kurikulum berbasis budaya, sesungguhnya merupakan desain kurikulum yang menyiapkan warga masyarakat yang menghargai nilai – nilai budaya yang berkembang dimasyarakat. Lulusan suatu jenjang pendidikan diharapkan tidak terasing dengan lingkungannya. Sedangkan ditinjau dari sisi psikologis, kurikulum berbasis budaya mengutamakan perkembangan potensi peserta didik yang manusiawi.
B.     Konsep – konsep pengembangan kurikulum
1)      Merencanakan kurikulum
Menurut Hilda Taba (Lukmanul hakim, 2008), bahwa didalam merancang kurikulum setidaknya berpijak dari fungsi dasar pendidikan yaitu :
v  Pendidikan berfungsi memelihara dan menyampaikan warisan kebudayaan kepada generasi muda, artinya mengajar berarti menyampaikan ilmu pengetahuan sebagai hasil kebudayaan yang menjadi isi atau materi pembelajaran melalui proses penuangan atau imposisi.
v  Pendidikan berfungsi mengubah dan memperbaiki kebudayaan, artinya proses pembelajaran lebih mencerminkan iklim democratis. Siswa dituntut untuk mengkaji , menilai, dan menemukan bentuk – bentuk hasil kebudayaan , termasuk ilmu pengetahuan yang dipandang lebih dan sesuai dengan tuntutan kehidupan, baik dimasa kini maupun masa yang akan datang. Siswa belajar tidak hanya dengan cara menerima semua apa yang disampaikan guru , tetapi mengolah, menguji, mengkaji, dan menemukan bentuk – bentukpengetahuan atau hasil belajar tertentu melalui upaya yang dilakukan sendiri dengan bimbingan  dan arahan dari guru.
v  Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan, kecakapan dan pribadi setiap individu. Artinya, siswa dipandang sosok yang mempunyai potensi, kecakapan, minat, dan kepribadian yang berbeda satu dengan lainnya. Atas dasar itu setiap siswa bebas memilih bentuk –bentuk belajar yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Tujuan pembelajaran adalah membentuk pribadi yang bersifat utuh, sehingga setiap individu dapat mewujudkan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki masing – masing.
2)      Organisasi hukum
Menurut Hilda Taba bahwa Organisasi kurikulum mungkin dapat dipandang sebagai ‘one of the most potent factors (Nasution, 1990), yaitu salah satu factor yang sangat penting yang menentukan bagaimana belajar akan berlangsung. Dalam organisasi Kurikulum ini terdapat beberapa factor yang perlu mendapat pertimbangan yaitu masalah scope, sequence, kontinuitas, keseimbangan, dan integrasi.
Ø  Kurikulum inti, ciri – cirinya adalah merupakan rangkaian pengalaman yang saling berkaitan, direncanakan secara kontinu, didasarkan atas masalah, bersifat pribadi dan social, diperuntukkan bagi semua siswa.
Ø  Kurikulum terpadu, adalah usaha mengintegrasikan bahan pelajaran dari berbagai matapelajaran. Integrasi ini dapat tercapai dengan memusatkan palajaran pada masalah tertentu yang memerlukan pemecahannya dengan bahan dari segala macam disiplin atau matapelajaran yang diperlukan. Bahan mata pelajaran menjadi instrumental dan fungsional untuk memecahkan masalah itu. Batas – batas mata pelajaran dapat ditiadakan.
Ø  Kurikulum gabungan, kurikulum ini merupakan modifikasi kurikulum subjek yang terpisah – pisah. Agar pengetahuan anak tidak lepas – lepas maka diusahakan hubungan antara dua mata pelajaran atau lebih yang dapat dipandang sebagai kelompok yang pada hakikatnya mempunyai hubungan yang erat.
Beberapa organisasi kurikulum diatas bukan menjadi persoalan yang signifikan untuk dipertentangkan karena pada pelaksanaannya beberapa organisasi kurikulum dapat dijalankan secara berdampingan. Karena masing – masing dari organisasi kurikulum tersebut mempunyai kelemahan dan kelebihan serta saling melengkapi.

C.     Pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter bangsa
Pencapaian Tujuan pendidikan pada dasarnya merupakan tanggung jawab bersama yaitu guru, orang tua dan lingkungan. Oleh karena itu perencanaan kurikulum seharusnya mempertimbangkan factor – factor yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut.
Menurut Nasution Dalam merencanakan kurikulum sebaiknya guru berpedoman pada :
a.        Apa yang akan dipelajari
b.      Kepada siapa diajarkan
c.       Apa sebab diajarkan, dengan tujuan apa
d.      Dalam urutan yang bagaimana
Oleh karena itu perencanaan kurikulum bersifat dinamis, guru harus mampu melihat kebutuhan siswa sesuai dengan permasalahan yang muncul, dilihat dari segi kebutuhan individu, masyarakat, Negara dan dunia. Guru seharusnya dapat mengimplementasikan beberapa kebutuhan siswa tersebut secara seimbang dalam berbagai materi pelajaran.
Berkaitan dengan munculnya permasalahan – permasalahan yang berkaitan dengan terancamnya kedaulatan bangsa ( gerakan NII ), membuat para pendidik harus meninjau ulang bagaiamanakah seharusnya kurikulum kita dapat dikembangkan untuk menjawab  permasalahan tersebut. Kemampuan intelektual harus diimbangi dengan Pendidikan yang menjunjung tinggi nilai budaya bangsa. hal ini akan memunculkan generasi – generasi yang menjunjung tinggi nilai – nilai nasionalisme, sehingga kecerdasan intelektual yang terbentuk pada diri siswa akan membawa kepada kemaslahatan bangsa dan Negara. oleh sebab itu sebaiknya guru dapat mengimplementasikan pendidikan yang berkarakter budaya bangsa tersebut dalam setiap pelajaran misalnya dapat melalui hiden kurikulum yang dilakukan oleh seluruh komponen pendidik disekolah.
v  Pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui berbagai kegiatan belajar di :
1.      kelas
2.      sekolah
3.      luar sekolah melalui kegiatan ekstra kurikuler dan kegiatan lain yang dirancang sekolah


v  Pentingnya Pendidikan karakter bangsa bagi siswa

Pada bab II pasal 3 undang – undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional dijelaskan bahwa pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sebagaimana dijelaskan dalam tujuan pendidikan nasional diatas bahwa salah satu sasaran dari proses pendidikan adalah menciptakan generasi bangsa yang berwatak dan menciptakan peradaban bangsa yang bermartabat. Hal ini mengisyaratkan bahwa didalam proses pendidikan harus mengimplementasikan tujuan yang berorientasi pada pembentukan karakter siswa sesuai dengan kepribadian dan budaya bangsa, sehingga dapat menanamkan nilai – nilai nasionalisme dalam pendidikan Pembangunan karakter dan jati diri bangsa merupakan cita-cita luhur yang harus diwujudkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang terarah dan berkelanjutan.

Penanaman nilai-nilai akhlak, moral, dan budi pekerti seperti tertuang dalam Undang- undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional harus menjadi dasar pijakan utama dalam mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi sistem pendidikan nasional. Dunia pendidikan kita saat ini tampaknya telah terkontaminasi iklim budaya barat yang begitu mengunggulkan nilai – nilai intelektual berbasis science tetapi miskin dengan nilai – nilai moral spiritual dan nilai budaya bangsa, sehingga pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan tidak diimbangi dengan perkembangan peradaban yang sesuai dengan norma dan adat budaya bangsa. hal ini terbukti banyak catatan prestasi yang ditorehkan para pelajar Indonesia di tingkat internasional karena hampir di setiap kompetisi ilmu pengetahuan baik tingkat regional seperti di ASEAN, Asia maupun internasional, wakil Indonesia selalu menyabet medali. Tetapi sayangnya dinegeri sendiri prestasi itu harus ternodai dengan adanya kasus korupsi, terorisme ataupun kasus – kasus yang mengancam kedaulatan bangsa. Oleh karena itu, rekonstruksi Sisdiknas bisa dijadikan sebagai filter bagi dampak negatif serbuan globalisasi. Jangan sampai mudah terpengaruh dan menjadi bangsa yang tidak memiliki karakter. Maka imbauan mengenai pembentukan dan pembinaan karakter bangsa menuju masyarakat yang bermoral, berbudi pekerti luhur dan menjunjung tinggi semangat nasionalisme menjadi suatu tantangan ke depan. Sekolah merupakan agen yang sangat efektif dalam membentuk dan membina karakter siswa yang berbudaya dan bernilai kebangsaan melalui pengembangan kurikulum yang berbasis pada pendidikan karakter bangsa. oleh karena itu melalui KTSP sekolah dituntut untuk selalu mengembangkan serta mengevaluasi program pembelajaran yang ada sehingga mampu menjawab tantangan globalisasi yang bersifat dinamis.

v  Menurut ahmad yaumi Ada beberapa alasan yang mendasari pentingnya pendidikan karakter bangsa bagi siswa adalah :

a. Dampak arus globalisasi yang membawa kehidupan menjadi semakin komplek merupakan tantangan baru bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia memasuki milenium ketiga sekarang ini. Persinggungan budaya lokal, nasional, dan budaya-budaya asing adalah bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan kita sehari-hari. Tumbuh kembangnya budaya lokal dan nasional akan menghadapi dilema yang amat besar jika pengaruh budaya asing tidak segera disaring melalui gerakan peduli budaya. Kepedulian terhadap budaya sendiri akan memperkuat pemahaman terhadap nilai-nilai kelokalan yang dapat menyaring hadirnya pengaruh budaya asing yang bisa membawa dampak terhadap dangkalnya pemahaman kita terhadap nilai-nilai keindonesiaan secara menyeluruh. Penguatan nilai-nilai budaya sendiri adalah wujud dari bangkitnya rasa nasionalisme yang mengedepankan kecintaan terhadap bangsa kita sendiri seperti ikrar yang dikumandangkan oleh para pemuda Indonesia melalui “Sumpah Pemuda” yakni kecintaan terhadap tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.

b. Adanya kenyataan bahwa telah terjadi penyempitan makna pendidikan dilihat dari perspektif penerapannya di lapangan. Pendidikan telah diarahkan untuk membentuk pribadi cerdas individual semata dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang dapat membentuk karakter peserta didik dan karakter bangsa, yang merupakan identitas kolektif, dan bukan pribadi (Kartadinata, 2009). Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa dalam sistem pendidikan nasional jelas tertuang bahwa tujuan pendidikan nasional bukan sekadar membentuk peserta didik yang memiliki kecerdasan intelektual dan keterampilan semata, melainkan juga harus beriman, bertakwa, berakhlak mulia, mandiri, kreatif, supaya menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Pendidikan juga berfungsi membangun karakter, watak, serta kepribadian bangsa.



c. Pendidikan yang diselenggarakan saat ini masih didominasi oleh berbagai dogma, dalil-dalil, atau ajaran yang diperoleh dari Barat (Alwasilah, 2009). Padahal secara kultural, pendidikan yang diselenggarakan harus tergali dari nilai luhur bangsa Indonesia sendiri. Berbagai pemikiran Ki Hajar Dewantara (KHD) yang telah tertuang dalam berbagai referensi seharusnya dapat dikaji kembali agar dapat dirumuskan dan diimplementasikan. Ranah kognisi, afeksi, dan psikomotorik yang merupakan produk Amerika dalam taksonomi pembelajaran tidak lebih sempurna dari taksonomi KHD yang terdiri atas olah otak, olah rasa, olah hati, dan olah raga. Namun, dalam realitasnya, guru dan para perancang pembelajaran lebih cenderung merujuk pada taksonomi Bloom yang akar spiritualitasnya belum terintegrasikan.

D.    Pendekatan Budaya Dalam Pengembangan Pendidikan
Penggunaan pendekatan budaya untuk memecahkan masalah kemanusiaan telah dilakukan sejak jaman Aristoteles ( Djohar, 1999 ). Dalam konteks pemecahan masalah mutu pendidikan, pendekatan budaya dipandang relevan untuk digunakan karena pendekatan struktural disinyalir mengalami banyak kegagalan. Dengan pendekatan budaya diharapkan peningkatan mutu pendidikan menjadi sebuah budaya yang berkembang dikalangan warga sekolah.
Pada hakekatnya, pendidikan merupakan proses budaya. Dhojar (1999) mengatakan pendidikan sebagai proses budaya bertujuan menyiapkan masyarakat mampu memasuki kehidupan pada zamannya. Peserta didik disosialisasikan dengan nilai – nilai budaya yang berlaku dalam tatanan kehidupan pada zamannya itu. Oleh karena itu pendidikan berlaku bagi semua orang dan terjadi sepanjang masa. Apa implikasi atas pernyataan tersebut, terutama dalam konteks pengembangan kurikulumnya? Mengacu pada pandangan bahwa kurikulum merupakan jantungnya pendidikan maka semestinya kurikulumya perlu dikembangkan atas dasar nilai – nilai luhur bangsa yang telah disepakati dan berkembang dimasyarakatnya.



Ø  Prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa:
1.      berkelanjutan
2.      melalui semua mata pelajaran (saling menguatkan), muatan lokal, kepribadian, dan budaya sekolah
3.      nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan
4.      dilaksanakan melalui proses belajar aktif

v  Berkelanjutan, mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa adalah sebuah proses panjang dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses tersebut dimulai dari kelas satu SD atau tahun pertama dan berlangsung paling tidak sampai kelas 9 atau kelas terakhir SMP. Pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMA adalah kelanjutan dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun. 

v  Melalui semua mata pelajaran, muatan lokal, kepribadian, dan budaya sekolah mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler. Gambar 1 berikut ini memperlihatkan pengembangan nilai-nilai tersebut melalui keempat jalur tadi:
v  Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan mengandung makna bahwa materi nilai-nilai budaya dan karakter  bangsa bukanlah bahan ajar biasa. Artinya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, atau pun fakta seperti dalam mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, matematika, pendidikan jasmani  dan kesehatan, seni, ketrampilan, dan sebagainya. Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Konsekuensi dari prinsip ini nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tidak ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian. Walaupun demikian, peserta didik perlu mengetahui pengertian dari suatu nilai yang sedang mereka tumbuhkan pada diri mereka. Mereka tidak boleh berada dalam posisi tidak tahu dan tidak paham makna sebuah nilai.

v  Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik  bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang dikembangkan maka guru menuntun peserta didik agar secara aktif (tanpa mengatakan hal ini kepada peserta didik) menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri mereka melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas, sekolah, dan tugas-tugas di luar sekolah.
E.     Tahap – tahap dalam pengembangan kurikulum berbasis budaya

a.      Perencanaan
Kegiatan pokok yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah merancang dan memgembangkan silabus yang merupakan panduan penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Prinsip – prinsip yang dipakai untuk mengembangkan silabus tak bisa dilepaskan dari prinsip– prinsip pengembangan kurikulum pada umumnya. Hal ini dikarenakan silabus merupakan salah satu produk kurikulum. Selanjutnya apabila disepakati bahwa silabus merupakan salah satu produk kurikulum sebagai pedoman tertulis, tentu membawa konsekuensi terhadap aspek – aspek yang dikembangkan, artinya aspek – aspek yang ada dalam silabus haruslah merupakan aspek – aspek yang terdapat dalam kurikulum. Beberapa aspek pokok yang perlu ada dalam silabus sebagaimana aspek yang tercangkup dalam kurikulum berbasis budaya adalah rumusan kompetensi, hasil belajar, indikator keberhasilan, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, evaluasi, alokasi waktu dan sumber bahan.
Nilai-nilai pendidikan budaya dan karakater bangsa dikembangkan dalam setiap pokok bahasan dalam mata pelajaran. Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam silabus. Pengembangan nilai-nilai tersebut dalam silabus ditempuh melalui cara-cara berikut ini:
1.      mengkaji SK dan KD untuk menentukan apakah nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang tercantum di atas sudah tercakup didalamnya
2.       menggunakan tabel yang memperlihatkan keterkaitan antara SK/KD dengan nilai dan indikator
3.       mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam tabel tersebut ke dalam silabus mengembangkan RPP berdasarkan silabus yang sudah disusun.
b.      Implementasi
Beauchamp (1975 : 164 ) mengartikan implementasi kurikulum sebagai “ a process of futting the curriculum to work”. Fullan ( Miller dan Seller, 1985 :246 ) mengartikan implementasi kurikulum sebagai “ The futting into practice of an idea, prgram or set of activities which is new to the individual or organization using it “. Berdasarkan atas dua pendapat tersebut, sesungguhnya implementasi kurikulum merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mewujudkan atau melaksanakan kurikulum (dalam arti rencana tertulis) kedalam bentuk nyata dikelas, yaitu terjadinya proses transmisi dan transformasi segenap pengalaman belajar kepada pesrta didik.
Ø  Dua pola penerapan kurikulum berbasis budaya
v  Pertama, mengembangkan desain kurikulum ( silabus atau rancangan pelaksanaan pembelajaran ) dengan berwawasan budaya. Artinya aspek – aspek kurikulum yang terkait dalam desain kurikulum dikembangkan dengan mengacu pada wawasan budaya bangsa, misalnya : pengembangan materi pembelajaran dikaitkan dengan nilai – nilai luhur yang berlaku dimasyarakat. Konsekuensinya, implementasinya tentu menggunakan model – model pembelajarn berbasis budaya.
v  Kedua, menggunakan desain kurikulum berbasis budaya dalam implementasi kurikulum yang sedang berjalan. Disini yang perlu ditekankan adalah penggunaan model – model pembelajaran bebasis budaya dalam kegiatan pembelajaran sehari – hari. Model – model pembelajaran berbasis bdaya yang bisa digunakan adalah model pembelajaran pemecahan masalah, model pembelajaran inkuiri, model pembelajaran kontektual dan model yang lainnya.
c.       Evaluasi
Evaluasi kurikulum berbasis budaya, sebagaimana yang berlaku pada desain kurikulum lainnya bertujuan untuk mengetahui tentang kelayakan kurikulum berbasis budaya, baik dalam bentuk rancangan, maupun hasil. Hasil evaluasi digunakan untuk menetapkan nilai dan arti terhadap kurikulum berbasis budaya yang sedang berjalan. Sasaran kegiatan evaluasi kurikulum berbasis budaya, sesuai dengan tujuannya, meliputi : evaluasi terhhadap rancangan, implementasi, dan hasil belajar. Pendekatan evaluasi yang digunakan bisa dalam bentuk pendekatan kuantitatif dan atau kualitatif.

Evaluasi terhadap rancangan kurikulum ingin melihat kualitas substansi dan format rancangan. Evaluasi terhadap substansi rancangan kurikulum menitik beratkan pada aspek – aspek esensial rancangan kurikulum dan keterkaitannya diantara aspek  aspek evaluasi tersebut. Evaluasi terhadap implementasi kurikulum berbasis budaya bertujuan untuk mengetahui kualitas proses implementasi kurikulum ( kegiatan pembelajaran ) di sekolah (kelas dan luar kelas). Fokus evaluasi diarahkan pada langkah – langkah pembelajarna dan dinamika interaksi pendidik dengan peserta didik.
Penilaian pencapaian nilai-nilai budaya dan karakter didasarkan pada indikator. Sebagai contoh, indikator untuk nilai jujur di suatu semester dirumuskan dengan “mengatakan dengan sesungguhnya perasaan dirinya mengenai apa yang dilihat/diamati/ dipelajari/dirasakan”  maka guru mengamati (melalui berbagai cara) apakah yang dikatakan seorang peserta didik itu jujur mewakili perasaan dirinya. Mungkin saja peserta didik menyatakan perasaannya itu secara lisan tetapi dapat juga dilakukan secara tertulis atau bahkan dengan bahasa tubuh. Perasaan yang dinyatakan itu mungkin saja memiliki gradasi dari perasaan yang tidak berbeda dengan perasaan umum teman sekelasnya sampai bahkan kepada yang bertentangan dengan perasaan umum teman sekelasnya.
Penilaian dilakukan secara terus menerus, setiap saat guru berada di kelas atau di sekolah. Model yang dinamakan anecdotal record (catatan yang dibuat guru ketika melihat adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan) selalu dapat digunakan guru. Selain itu guru dapat pula memberikan tugas yang berisikan suatu persoalan atau hal yang menuntut peserta didik mengemukakan posisi dirinya atau kesesuaian/ketidaksesuaian sikap dirinya terhadap persoalan tersebut.   Sebagai contoh, peserta didik dimintakan sikapnya terhadap upaya menolong pemalas, memberikan bantuan terhadap orang kikir, atau hal-hal lain yang bersifat bukan kontroversial sampai kepada hal yang dapat mengundang konflik pada dirinya.
Dari hasil pengamatan, catatan anekdotal, tugas, laporan, dan sebagainya guru dapat memberikan kesimpulannya/pertimbangan tentang pencapaian suatu indikator atau bahkan suatu nilai. Kesimpulan/pertimbangan tersebut dapat dinyatakan dalam  pernyataan kualitatif sebagai berikut:

BT     =  Belum Terlihat (apabila peserta didik belum memperlihatkan tanda- tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator).
MT    =  Mulai Terlihat (apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan adanya tanda-tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator tetapi belum konsisten)
MB    =  Mulai Berkembang (apabila peserta didik sudah memperlihatkan berbagai tanda perilaku yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten)
MK   =  Membudaya (apabila peserta didik terus menerus memperlihatkan perilaku yang dinyatakan dalam indikator secara  konsisten.
Ø  Landasan Pedagogis Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpishkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya. Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan peserta didik tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka tidak akan mengenal budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang “asing” dalam lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang tidak menyukai budayanya.
Budaya, yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yang dianut oleh ummat manusia. Apabila peserta didik menjadi asing dari budaya terdekat maka dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian, dia sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung untuk menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan (valueing). Kecenderungan itu terjadi karena dia tidak memiliki norma dan nilai budaya nasionalnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pertimbangan (valueing). Semakin kuat seseorang memiliki dasar pertimbangan, semakin kuat pula kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi warga negara yang baik. Pada titik kulminasinya, norma dan nilai budaya secara kolektif pada tingkat makro akan menjadi norma dan nilai budaya bangsa. Dengan demikian, peserta didik akan menjadi warga negara Indonesia yang memiliki wawasan, cara berpikir, cara bertindak, dan cara menyelesaikan masalah sesuai dengan norma dan nilai ciri ke-Indonesiaannya. Hal ini sesuai dengan fungsi utama pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas, “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh karena itu, aturan dasar yang mengatur pendidikan nasional  (UUD 1945 dan UU Sisdiknas) sudah memberikan landasan yang kokoh untuk mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang sebagai anggota masyarakat dan bangsa.
Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan inti dari suatu proses pendidikan. Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu  menghendaki suatu proses yang berkelanjutan yang terintegrasi disetiap mata pelajaran yang ada di satuan pendidikan sehingga harus ditegaskan implentasinya dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan yang selanjutnya dituangkan dalam silabus dan rencana palaksanaan pembelajaran disetiap mata pelajaran. Pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.
Ø  Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
  1. pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa;
  2. perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan
  3. penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
Ø  Tujuan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
  1. mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
  2. mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
  3. menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
  4. mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
  5. mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
Ø  Nilai-nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari:
-         Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama. Secara politis kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaedah yang berasal dari agama.
-         Pancasila: negara Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut. Artinya, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warganegara yang lebih baik dan warganegara yang lebih baik adalah warganegara yang menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warganegara.
-         Budaya adalah suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat tersebut. Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan dasar dalam memberi makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat tersebut. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai-nilai dari pendidikan budaya dan karakter bangsa.
-         Tujuan Pendidikan Nasional adalah kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Di dalam tujuan pendidikan nasional terdapat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki seorang warganegara. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. 
Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut maka dihasilkan sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa,  yaitu:
·        Religius : suatu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama  yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
·        Jujur: perilaku yang didasarkan pada kebenaran, menghindari perilaku yang salah, dan menjadikan dirinya menjadi orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
·        Toleransi: suatu tindakan dan sikap yang menghargai pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari pendapat, sikap, dan tindakan dirinya.
·        Disiplin: suatu tindakan tertib dan aptuh pada berbagai ketentuan dan peraturan yang harus dilaksanakannya.
·        Kerja keras: suatu upaya yang diperlihatkan untuk selalu menggunakan waktu yang tersedia untuk suatu pekerjaan dengan sebaik-baiknya sehingga pekerjaan yang dilakukan selesai pada waktunya
·        Kreatif: berpikir untuk menghasilkan suatu cara atau produk baru dari apa yang telah dimiliki
·        Mandiri: kemampuan melakukan pekerjaan sendiri dengan kemampuan yang telah dimilikinya
·        Demokratis: sikap dan tindakan yang menilai tinggi hak dan kewajiban dirinya dan orang lain dalam kedudukan yang sama
·         Rasa ingin tahu: suatu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui apa yang dipelajarinya secara lebih mendalam dan meluas dalam berbagai aspek terkait.
·        Semangat kebangsaan: suatu cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
·        Cinta tanah air: suatu sikap yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan  yang tinggi terhadap lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
·         Menghargai prestasi: suatu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
·         Bersahabat/komunikatif: suatu tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain.
·        Cinta damai: suatu sikap dan tindakan yang selalu menyebabkan orang lain senang dan dirinya diterima dengan baik oleh orang lain, masyarakat dan bangsa
·         Senang membaca: suatu kebiasaan yang selalu menyediakan waktu untuk membaca bahan bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
·        Peduli sosial: suatu sikap dan tindakan yang selalu ingin memberikan bantuan untuk membantu orang lain dan masyarakat dalam meringankan kesulitan yang mereka hadapi.
·        Peduli lingkungan: suatu sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.




BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kurikulum budaya dan karakter bangsa adalah kurikulum yang  mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri peserta didik sehingga menjadi dasar bagi mereka dalam berpikir, bersikap, bertindak dalam mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan warganegara. Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dimiliki peserta didik tersebut menjadikan mereka sebagai warganegara Indonesia yang memiliki kekhasan dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Menciptakan manusia yang bermoral, berbudi pekerti luhur dan menjunjung tinggi semangat nasionalisme menjadi suatu keharusan dan tantangan bagi dunia pendidikan kita. Oleh karena itu sekolah sebagai agen pendidikan formal harus mampu mendesain kurikulum yang mengimplementasikan tujuan tersebut diatas, salah satunya melalui kuikulum yang berbasis pendidikan karakter bangsa.
B. Saran
Kurikulum merupakan jantung nya sebuah pendidikan, agar pendidikan mengalami kemajuan maka kurikulum pun harus dikembangkan dengan kerikulum karakter bangsa dan budaya agar tujuan dalam pendidikan tercapai, sebagai contoh dengan Pendidikan Karakter diharapkan menjadi kegiatan-kegiatan diskusi, simulasi, dan penampilan berbagai kegiatan sekolah untuk itu guru diharapkan lebih aktif dalam pembelajarannya. Dalam membangun karakter yang baik itu berasal dari lingkungan sekolah yang positif, sehingga lingkungn sekolah pun harus menjadi pusat perhatian guru. Kemudian selain itu, kurikulum harus dipadukan dengan nilai – nilai budaya yang ada dimasyarakat untuk menciptakan karakter anak yang baik.





DAFTAR PUSTAKA
·        Mulyana, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
·        Hasan, S. Hamid. 2000. Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya
·        Djohar . 1999 . Reformasi dan masa depan pendidikan di indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
·        Tilaar . 1999. Pendidikan, kebudayaan dan masyarakat madani indonesia. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
·        Beauchamp, G. ( 1975 ). Curruculum theory. Willmette, Illionis: The Kagg Press